
BUPATI TIDAK HADIRIAUDENSI , INI KATA ALIANSI MASYARAKAT PEDULI KESEHATAN “
BREBES – brdnusantara.news.blog –
” Ketika Kekuasaan Tidak Lagi Memandang yang Miskin Papa”
Hari ini kami datang bukan membawa amarah, tapi membawa luka—luka yang telah menjadi daging dari hidup sehari-hari rakyat miskin Brebes. Kami melangkah ke ruang audiensi, membawa secercah harapan bahwa nalar kekuasaan masih menyisakan sedikit ruang bagi suara yang parau, bagi tubuh-tubuh yang letih menunggu kebijakan yang tak kunjung tiba.
Namun kami mendapati ruang kosong, dingin oleh absennya wajah-wajah yang seharusnya bertanggung jawab. Tak tampak Bupati, tak hadir Wakil, tak pula terlihat Sekda. Bahkan Ketua Komisi IV yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan negara pun abai dari tempatnya. Seolah-olah penderitaan rakyat miskin adalah gema sayup yang tidak layak menyita waktu kekuasaan yang sibuk merangkai citra.
Apakah ini hanya kebetulan kalender? Ataukah sudah menjadi watak kekuasaan: menjadi tuli ketika rakyatnya paling lirih, dan menjadi bisu ketika suara-suara kecil menuntut perhatian?
Dalam filsafat, kekuasaan yang melupakan keberadaannya sebagai pelayan adalah kekuasaan yang telah membusuk dari dalam. Ia tak lagi menjadi alat keadilan, tetapi berubah menjadi tirai tebal yang menutup wajah penderitaan. Ia hidup, tapi tak hadir. Ia menjabat, tapi tak menjangkau. Ia memiliki kuasa, tapi kehilangan makna.
Dan kami, yang memilih walk out hari ini, bukan karena kalah. Justru karena kami tak ingin menjadi bagian dari sandiwara yang menghalalkan ketidakhadiran atas nama sibuk, yang memaklumi pembiaran atas nama birokrasi. Kami adalah cermin, dan dalam cermin itu hari ini, kekuasaan terlihat menunduk—bukan karena rendah hati, tapi karena kehilangan keberanian untuk menatap luka rakyatnya.
Hari ini, tepat 65 hari sejak Bupati Brebes dilantik oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan gegap gempita ia mengusung “Program 100 Hari Kerja”, sebuah adagium politik yang seolah hendak memberi harapan baru. Namun nyatanya, hari ini, kami saksikan sendiri: program itu tak lebih dari fatamorgana etis—menyilaukan dari jauh, kosong ketika didekati.
Seandainya orientasi kebijakan benar-benar berakar pada kebutuhan rakyat, maka kesehatan harus menjadi nyala pertama dalam obor pembangunan. Tetapi sejak Januari 2025, ratusan ribu warga miskin Brebes terombang-ambing tanpa jaminan kesehatan, dibiarkan bergulat sendirian melawan derita. Bukannya ditarik ke lingkar solusi, mereka malah dipaksa menelan pil pahit: bahwa negara hadir hanya sebagai poster, bukan pelindung.
Dan ketika kami datang hari ini bukan untuk mengemis, tetapi untuk berdiskusi, untuk menyampaikan formulasi alternatif demi menyelamatkan nyawa yang kami dapati hanyalah kursi-kursi kosong yang memantulkan keangkuhan diam.
Seolah jerit rakyat miskin tak lebih dari nyamuk yang mengganggu tidur siang kekuasaan.Apakah nurani kekuasaan telah sedemikian tumpulnya hingga tak lagi mendengar ratapan seorang ibu di pelosok desa yang menimang anaknya dalam demam tak terobati? Apakah pejabat Brebes telah sepenuhnya menanggalkan rasa, membiarkan warganya berperang melawan sakit tanpa senjata, tanpa perisai?
Dan yang lebih tragis, ini terjadi di bawah kepemimpinan seorang perempuan—yang oleh kodrat biologis dan historisnya lebih dekat pada sentuhan rasa, lebih halus dalam jangkauan nurani. Tapi barangkali jabatan itu telah mengeras, menjauhkan perasaan dari pelukan penderitaan.
Jika demikian, maka biarkan kami turun ke jalan.Biar kami berdiri di mimbar bebas, bukan karena ambisi politik, tetapi karena cinta yang tak sanggup diam.Biar suara kami menggema, menggetarkan ruang-ruang nyaman para elite yang tak pernah merasakan dinginnya lantai rumah tanpa BPJS.Kami akan berteriak dengan kebenaran, dengan luka, dengan nurani—hingga gendang telingamu tak bisa lagi menolaknya.
Karena sesungguhnya, pemimpin bukan dia yang dipanggil “yang terhormat”, tapi dia yang rela duduk di tanah bersama yang terpinggirkan.Kepemimpinan bukan soal spanduk, bukan pula soal angka tapi soal kehadiran.Dan ketika rakyatmu paling lemah, justru di situlah engkau diuji: apakah kau memimpin dengan kuasa, atau memeluk dengan rasa.Seorang pemimpin yang tak hadir di saat genting, sejatinya sedang mengundurkan diri dari nuraninya sendiri.( TGH )








You must be logged in to post a comment.